Ciwa Budha - Konsep Dasar |
Mpu Tantular yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk membuat satu karya sastra yang disebut Kakawin Sutasoma yang mana telah digali isinya sebagai dasar perkembangan rasa persatuan umat Budha dan umat Ciwa. Juga adalah kakawin yang baitnya diambil sebagai motto negara Indonesia. Hyang Budha tampahi Ciwa raja dewa (Ini hasil perenungan pinisepuh. Isi mohon jangan dibandingkan dengan sumber lain karena saya sendiri kaget bahwa bait ini hampir seratus persen sama dengan sumber lain. Yang beredar di umum tanpa baris pertama. Bagi saya ini satu ke ajaiban, bahwa pinisepuh yang masih belia bisa mendiktekan bait ini!) Ciwa diwujudkan dengan lambang Ongkara Kemudian, Ardhanareswari Murti adalah wujud dari Bhatara Ciwa dan Dewi Parwati yang berbadan setengah pria (ardha) dan setengah wanita (nari) juga berwujud Acintya yang menyatakan tidak laki-laki dan juga tidak perempuan yang juga disebut Ana Tan Hana yang ada tetapi tidak ada. Dalam ikonografi klasik patung Ardhanareswari disebut juga Harihara. Hari sebagai unsur pria (Purusha) dan Hara sebagai unsur wanita (Pradhana) dan persatuan dari Purusha dan Pradhana ini terwujud sebagi Hyang Tunggal. Dan dalam wujud yang lain yang akhirnya dalam masyarakat Bali, penyatuan Sri dan Sedhana dikenal sebagai Bhatara Rambut Sedana (Dewa Kemakmuran) yang sering juga disimbolkan dengan patung-patung atau archa atau pratima kecil yang terbuat dari uang kepeng dengan muka (pererai) terbuat dari kayu cendana yang dilinggihkan di pura merajan sebagai patung-patung Leluhur. Dalam perkembangan berikutnya Mpu Kuturan membuat konsep pemujaan kepada Hyang Tunggal yang akhirnya dipakai sebagai pakem pemujaan Hindu Dharma atau Ciwa Budha di Bali yaitu dengan membuat simbol Tapak Dara, garis horisontal (mendatar) dan garis vertikal (atas bawah) yang bergabung atau tanda ‘+’. Simbol dari Lingga dan Yoni. |